Bali, LINIEKONOMI.COM - Direktorat Reserse Siber Polda Bali mengungkap praktik ilegal penjualan kartu perdana yang teregistrasi menggunakan data pribadi orang lain tanpa izin.
Operasi penggerebekan ini menghasilkan penangkapan 12 tersangka dan penyitaan ratusan ribu kartu perdana dari dua provider ternama di Indonesia.
AKBP Ranefli Dian Candra, Direktur Reserse Siber Polda Bali, mengungkapkan detail operasi tersebut pada Rabu (16/10/2024).
"Para pelaku mengeksploitasi data pribadi milik orang lain untuk meregistrasi kartu perdana, mendapatkan kode OTP, dan kemudian menjual kartu-kartu tersebut kepada konsumen," jelasnya.
Kasus ini terungkap setelah adanya laporan masyarakat tentang dugaan aktivitas judi online di sebuah rumah di Jalan Sakura, Denpasar. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa lokasi tersebut merupakan pusat produksi dan distribusi kartu perdana ilegal.
Jaringan ini dikepalai oleh DBS (21) sebagai pemilik usaha. Ia dibantu oleh GVS (23) yang berperan sebagai manajer, MAM (19) sebagai kepala sortir, dan FM (18) yang bertanggung jawab atas proses registrasi SIM card.
Delapan tersangka lainnya, yaitu YOB (25), TP (24), ARP (18), IKABM (24), RDSS (22), DP (32), IWSW (23), dan DJS (23), bertugas melakukan registrasi kartu provider dan menjualnya ke pasar.
DBS mengaku kepada penyidik bahwa ia memperoleh data pribadi orang lain melalui pembelian di situs gelap dengan harga Rp 25 juta untuk 300 ribu data NIK dan KK.
Bisnis ilegal ini dimulai pada tahun 2022 dengan menggunakan sebuah ponsel dan berkembang pesat hingga mampu mengakuisisi peralatan canggih untuk memproduksi kartu perdana ilegal dalam skala besar.
Kapasitas produksi sindikat ini mencapai 3.000 kartu perdana ilegal per hari, dengan harga jual Rp 5.000 per kartu. AKBP Ranefli memperkirakan omzet bisnis ilegal ini mencapai ratusan juta rupiah, meskipun tidak ada pembukuan resmi yang ditemukan.
"Pendapatan digunakan untuk biaya operasional, gaji karyawan, listrik, pembelian peralatan baru, dan pemesanan kartu kosong," tambahnya.
Modus operandi yang digunakan sindikat ini merupakan ancaman serius terhadap privasi dan keamanan data pribadi masyarakat. Penggunaan NIK dan KK orang lain tanpa izin untuk registrasi kartu perdana tidak hanya melanggar hukum tetapi juga berpotensi merugikan pemilik data yang sah dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Terancam Hukuman UU ITE
Kasus ini juga menyoroti kerentanan dalam sistem registrasi kartu perdana yang ada saat ini. Provider telekomunikasi dan regulator perlu mengevaluasi dan memperkuat prosedur verifikasi identitas untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi dalam skala besar seperti ini.
Para tersangka kini menghadapi ancaman hukum yang serius. Mereka dijerat dengan Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang membawa ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Selain itu, mereka juga dikenakan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1) UU ITE, dengan ancaman pidana penjara hingga 8 tahun.
Pengungkapan kasus ini menunjukkan pentingnya kesadaran masyarakat tentang keamanan data pribadi. Masyarakat diimbau untuk lebih waspada dalam menjaga informasi pribadi mereka dan melaporkan segala bentuk aktivitas mencurigakan yang berpotensi melanggar privasi data.
Kasus ini juga menjadi peringatan bagi penyedia layanan telekomunikasi untuk meningkatkan sistem keamanan dan verifikasi dalam proses registrasi kartu perdana. Diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara pihak kepolisian, regulator telekomunikasi, dan provider untuk mencegah dan mendeteksi praktik ilegal semacam ini di masa depan.
Sementara itu, pihak berwenang terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap kemungkinan adanya jaringan yang lebih luas terkait dengan bisnis ilegal ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa sindikat ini memiliki koneksi dengan kelompok kejahatan siber yang lebih besar yang beroperasi di Indonesia atau bahkan di tingkat internasional.
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas regulasi yang ada saat ini dalam menghadapi kejahatan siber yang semakin canggih.
Tugas Pemerintah Dipertanyakan
Pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk memperkuat kerangka hukum dan meningkatkan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan.
Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan kejahatan siber dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap penggunaan data pribadi mereka.
Baca Juga: Kapolri Lakukan Mutasi Besar-besaran: 17 Kapolres Baru Dilantik
Baca Juga: Rahasia Sukses Elon Musk: 7 Kunci Membangun Bisnis Untuk Kamu
Edukasi tentang pentingnya menjaga kerahasiaan informasi pribadi dan risiko penyalahgunaan data perlu terus digalakkan di berbagai lapisan masyarakat.
Pengungkapan kasus ini menjadi momentum penting bagi semua pemangku kepentingan untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem keamanan data di Indonesia. [*]