Paris, LiniEkonomi.com, - Grup pertambangan asal Prancis, Eramet, menghadapi tekanan besar di pasar saham setelah mengumumkan penurunan target produksi nikel dan mangan.
Saham perusahaan yang terdaftar di Bursa Paris ini mengalami penurunan drastis sebesar 19 persen, Rabu (18/10/2024), mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek bisnis perusahaan di tengah volatilitas pasar komoditas global.
Penurunan tajam ini menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi Eramet, yang sebelumnya telah terpukul oleh jatuhnya harga nikel global.
Sejak Juni 2024, saham perusahaan telah menyusut sekitar 50 persen.
Mencerminkan dampak signifikan dari fluktuasi harga nikel yang telah turun dari puncaknya di US$ 30.000 per ton pada akhir 2022 menjadi sekitar US$ 17.395 per ton saat ini.
Faktor utama di balik gejolak pasar nikel adalah peningkatan produksi logam berbiaya rendah di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan grup berbasis di Tiongkok telah memainkan peran kunci dalam menciptakan kondisi kelebihan pasokan, yang pada gilirannya menekan harga nikel secara substansial.
Eramet mengungkapkan pada Selasa (17/10/2024) malam bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan izin operasi dan penjualan yang "jauh lebih sedikit" dari yang diharapkan untuk tahun 2024.
Informasi ini menjadi katalis utama bagi kejatuhan saham perusahaan, mengingat operasi Eramet di Weda Bay, Indonesia, yang merupakan salah satu tambang nikel terbesar di dunia, telah menjadi penyeimbang penting bagi kesulitan yang dialami perusahaan di wilayah Kaledonia Baru.
Selain masalah dengan produksi nikel, Eramet juga menghadapi tantangan di sektor mangan. Perusahaan memproyeksikan penurunan produksi bijih mangan, bahan baku penting dalam industri baja karbon.
Kombinasi dari kedua faktor ini menciptakan tekanan ganda pada prospek pendapatan Eramet di masa depan.
Situasi yang dihadapi Eramet bukanlah kasus terisolasi dalam industri pertambangan global. Beberapa perusahaan besar lainnya, termasuk First Quantum dan BHP, telah mengambil langkah untuk menangguhkan produksi di beberapa lokasi tambang mereka sebagai respons terhadap penurunan harga nikel.
Bahkan Glencore, raksasa pertambangan asal Swiss, baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melepas kepemilikannya di sebuah tambang nikel di Kaledonia Baru.
Baca Juga: Golkar Gunungsitoli Bantu Korban Kebakaran di Kelurahan Saombo, Ini Kata Martinus Lase
Baca Juga: Ini Keuntungan Indonesia Kontrol Tambang Nikel Raksasa Vale
Dalam menghadapi situasi ini, Eramet kemungkinan akan mencari cara untuk mendiversifikasi operasinya dan mengurangi ketergantungan pada satu wilayah geografis.
Perusahaan mungkin juga akan mempertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mencari peluang di segmen pasar lain untuk mengimbangi penurunan di sektor nikel dan mangan. [*]